Manusia Penebar Manfaat
Seperti cerita yang pernah dialami oleh seorang ulama di kota Tasikmalaya. Suatu hari di bulan Ramadhan, beliau diminta untuk mengisi ceramah di suatu tempat yang jaraknya jauh dari kota Tasikmalaya. Ceramah kali itu dijadwalkan untuk dilaksanakan ba’da shalat Isha, dan mengingat jaraknya yang jauh, beliau beserta rombongan akhirnya berangkat setelah shalat ashar.
Tanpa membawa bekal apa-apa, rombongan berangkat. Ya..tanpa membawa apa-apa karena berasumsi bahwa nanti bisa berhenti dulu untuk berbuka. Tapi qadarullah….Ustadz dan rombongan tidak bisa berhenti terlebih dahulu untuk sekedar makan karena jika berhenti terlebih dahulu, dikhawatirkan akan terlambat sampai di tempat acara. ‘Ya sudahlah, toh di tempat acara nanti akan diberi makanan’ bisik hati kecil anggota rombongan. Hingga akhirnya rombongan pun tiba di tempat acara, dan tak dinyana ternyata Ustadz dan rombongan tidak sempat disuguhi makan besar karena mungkin panitia berasumsi bahwa rombongan tamu ini sudah makan diperjalanan tadi hingga sedikit terlambat menghadiri acara. Maka setelah sedikit berbasa-basi, Ustadz pun dipersilahkan untuk naik panggung dan berceramah hingga larut malam.
Suguhan yang hanya berupa makanan ringan sajalah yang malam itu singgah di perut mereka. Alhamdulillah, lumayan menahan lapar hingga nanti makan di perjalanan, pikir Ustadz dan rombongan. Kemudian setelah acara selesai, rombongan pun melanjutkan perjalanan untuk pulang kembali ke kota Tasikmalaya. Waktu itu, bulan sudah merangkak tinggi, dan jalanan yang dilalui pun sudah sangat sepi. Dan setelah seharian berpuasa tanpa berbuka dengan makanan berat mau tak mau menguras tenaga semua anggota rombongan, terlebih lagi bagi yang bertugas di belakang setir. Hingga mau tak mau, memaksa mereka untuk memejamkan mata sekedar melepas kantuk.
Beberapa menit berlalu hingga hitungan jam, dan suara adzan membangunkan mereka. Subhanallah…sudah waktunya shalat shubuh. Artinya seteguk air pun tidak bisa mereka minum di waktu sahur itu. Namun, 24 jam tidak makan nasi tidak menyurutkan semangat mereka untuk melanjutkan puasa Ramadhan hari itu, meskipun tentu saja hari itu harus dijalani dengan ujian kesabaran dan keimanan yang lebih besar.
Jika dilihat sekilas, mungkin akan ada yang bertanya. Untuk apa mengorbankan harta, waktu dan tenaga untuk sekedar menyampaikan ceramah di tempat yang terpencil, tanpa ada imbalan apa pun meski hanya sekedar sesuap nasi. Jika akal yang digunakan, maka sampai kapan pun tidak akan ada kemauan atau pun kerelaan untuk itu, karena pada dasarnya berdakwah butuh pengorbanan dan hanya orang-orang yang diberi keimanan oleh Allah sajalah yang mampu berkomitmen untuk mengorbankan semua upayanya untuk menegakan Islam di muka bumi, atau setidaknya untuk memberikan manfaat pada orang sekitar dengan apa pun yang kita miliki. Jika punya harta, berbagilah dengan yang membutuhkan pun jika yang dimiliki hanya tenaga, maka sumbangkanlah tenaga kita untuk membantu orang lain. Atau seperti yang dilakukan ulama tadi, ketika punya ilmu dalam bidang agama maupun yang lainnya, beliau tak pernah segan-segan membaginya dengan orang lain. Dengan atau pun tanpa imbalan materi, berbagi ilmu menurut beliau selain menambah pundi-pundi tabungan pahala, menambah saudara juga menambah ilmu yang dimiliki.
Sesuai dengan hadist tentang manusia terbaik yang bisa menjadi inspirasi dan penyemangat dalam segala aktivitas kita, jika kita ingin mendapat posisi sebagai bagian dari golongan manusia terbaik dalam pandangan Allah, maka lakukanlah yang terbaik dengan mengerahkan potensi terbaik kita, kapan pun dan dimana pun kita berada, dengan segenap kemampuan apa pun yang kita miliki. Dan tentu akan lebih hebat lagi jika kita mempunyai seorang pemimpin daerah yang mampu mengeluarkan potensi terbaik yang dimiliki masyarakat di daerahnya untuk bersama-sama maju menjadi lebih baik.
Seperti filosofi orang Jepang ketika saling menyemangati. Mereka meneriakan “Ganbatte kudasai” yang artinya tidak sekedar kata”semangat” namun juga berarti “bekerja keraslah, lakukan yang terbaik”. Hingga tak heran orang Jepang terkenal dengan karakternya yang bersungguh-sungguh dalam menjalankan profesi apa pun.
Dan kita, kaum muslimin, sejak belasan abad yang lalu telah disemangati Rasulullah dengan seruan bahwa manusia terbaik adalah manusia yang paling banyak manfaatnya untuk manusia lain. Maka tidak usah lagi menunda untuk ber-azzam, ‘saya akan mengerahkan segenap potensi terbaik saya untuk memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi kemaslahatan ummat!’. Bisa?
Komentar
Posting Komentar