Tentang mengajar

Kenapa saya jadi guru? Awalnya sih sekedar melaksanakan permintaan orang tua, biar ada aktivitas setelah lulus kuliah, sembari mencari pekerjaan yang kira-kira sesuai minat dan kompetensi saya. Namun tak terasa, ‘pekerjaan sementara’ itu masih saya jalani hingga hampir delapan tahun belakangan, walaupun…hanya dua kali seminggu saya mengajar. Bukan karena terpaksa karena tak kunjung mendapat pekerjaan lain, tapi rasa-rasanya memang saya hampir tak pernah serius mencari pekerjaan lain. Apalagi setelah menikah, pertimbangan saya selalu lebih cenderung mendahulukan keluarga dibandingkan pekerjaan, jadi saya tak pernah tertarik melamar pekerjaan yang menyita banyak waktu di luar rumah.

Memang sih…mengajar pun bukan berarti tak pernah menyita banyak waktu. Adakalanya beberapa kali dalam setahun saya harus menghabiskan banyak waktu di luar rumah, biasanya untuk keperluan praktek kerja lapangan siswa atau ketika musim ujian kompetensi siswa. Namun rasanya masih dalam batas wajar, yang artinya keluarga tidak ditelantarkan (he…he…bahasanya menakutkan ya).

Lantas kenapa saya betah ngajar? Jawabannya adalah karena dengan mengajar saya bisa membuat perubahan. Ya…bukankah dengan belajar bisa mengubah nasib orang, dan saya merasa senang jika bisa menjadi bagian yang turut membantu seseorang untuk berubah menjadi lebih baik. Dengan mengajar, saya juga jadi bisa belajar bahwa kita tidak pernah berhak untuk bersu’udzon terhadap seseorang atau lebih buruk lagi menghakimi seseorang. Bahkan ada sebuah kalimat bijak ‘sometimes the people with the worst past can create the best future’ jadi seburuk apa pun seseorang dalam penilaian kita, tetap tidak melegiimasi kita untuk menyatakan bahwa orang tersebut tidak punya harapan atau akan selamanya mengecewakan, karena bisa jadi suatu hari orang itu akan berubah dan justru menjadi orang hebat.

Misalnya ada seorang siswa yang secara akademik sangat pas-pasan bahkan seringkali ngos-ngosan mengejar nilai, belum lagi attitude-nya yang seringkali mengecewakan, jangan lantas membuat kita, apalagi sebagai guru atau pun orang tua untuk kehilangan harapan terhadap anak itu. Sudah beberapa kali saya menyaksikan seorang siswa yang mengalami transformasi yang bisa dibilang luar biasa. Dari yang tadinya secara akademik maupun sikap, jauh dari membanggakan namun setelah beberapa kurun waktu bisa berubah 180 derajat. Bisa menjadi orang yang keahliannya terpakai di tempatnya bekerja dengan sikap yang luar biasa baik. Sungguh ajaib saya pikir. Apa yang akan terjadi jika saja saat itu, rekan-rekan guru yang lain dan juga saya tidak sabar hingga hanya mengeluarkan kata-kata yang negatif tentang dirinya, misalkan ‘kamu bodoh, nakal,  nggak punya harapan, tidak akan pernah lulus, tidak mampu belajar..’ atau kalimat-kalimat yang lebih buruk dari itu? maka bisa jadi persepsi negatif itulah yang akan membentuk dirinya.

Kemudian ada lagi satu peristiwa yang membuatku sedikit berkaca-kaca. Saat itu, ada seorang siswa yang dikenal sangat susah memahami pelajaran ditambah lagi sering tidak sekolah, sering diusir dari kelas karena mengganggu atau pun tidak mengerjakan tugas dan berbagai alasan lain hingga menjelang uji kompetensi, tunggakan nilainya sangat banyak hingga mencapai angka belasan. Padahal salah satu syarat ikut ui kompetensi adalah harus lulus di semua mata pelajaran. Siswa itu hampir saja menyerah dan memilih untuk lebih banyak membolos dari kelas, hingga mau tak mau para guru dibuat lumayan geram sekaligus bingung tentang cara menyikapinya, termasuk saya sendiri. Kebetulan saya pun mengajar di kelasnya dan mau tak mau akan berhadapan dengan siswa yang satu ini.

Sebelum masuk ke kelas itu, saya berpikir tentang apa kira-kira cara yang paling efektif untuk membantunya keluar dari masalah. Akhirnya, saya terilhami salah satu senandung nasyid Raihan ‘senyuman dari hati, jatuh ke hati’. Eits…tunggu dulu, bukan mau saya kasih senyum, tapi lirik ini menginspirasi saya bahwa sesuatu yang berasal dari hati, bisa sampai ke hati. Jadi jika saya coba berbicara dengan tulus dari hati, mungkin dia mau mendengarkan hingga akhirnya bisa berubah.

Saya pun coba berbicara dengan siswa itu. Saya mengajaknya berdiskusi dan membayangkan masa depan, tentang apa yang akan dia lakukan jika lulus dari SMK kemudian tentang apa yang akan dia kerjakan setelah dewasa dan tidak bisa lagi bergantung pada orang tua. Alhamdulillah dia faham, namun kemudian dia mengeluhkan permasalahan nilai yang sedang membebaninya. Akhirnya saya katakan padanya untuk mengumpulkan kembali niat dan tekad belajar kemudian berusaha mengatur waktu dengan  lebih baik. Tak lupa saya katakan bahwa dia pasti bisa.

Beberapa minggu berlalu, hingga suatu hari dia menemui saya dan mengatakan “bu Alhamdulillah saya sudah lulus di semua pelajaran dan sudah selesai ujian kompetensinya. Saya nurut sama kata-kata ibu dan belajar tiap hari, dan…ternyata saya bisa. Terima kasih bu sudah ngajarin saya.” Sejujurnya saya sedikit terharu mendengarnya, ”Alhamdulillah….” ucap saya, tidak ada lagi yang lebih membahagiakan selain melihat seseorang berubah menjadi lebih baik. Dan seperti yang saya katakan sebelumnya, bahwa kita tidak boleh menghakimi seseorang dan kehilangan harapan atas orang itu, karena seburuk apa pun perilaku seseorang jika sudah mendapat hidayah dari Allah, maka tidak akan ada lagi yang menghentikannya untuk menjadi orang baik dan bermanfaat.

Komentar

Postingan Populer